Jumat, 22 Agustus 2008

Angkot

Mbak Nina:

kadang mengangkot membuat kita berpikir


Saya pindah rumah [lagi]. Kali ini mengharuskan saya menggunakan transportasi umum untuk bepergian, kalau tidak ada jemputan. Betul kutipan diatas, menggunakan transportasi umum memberikan kita waktu untuk berpikir.
Hari pertama berangkat kerja saya memilih bus Damri baru ber-AC. Suasananya menyenangkan, lebih luas,non-smoking area. Saya merasa seperti berada di sebuah tabung tertutup yang steril. Di luar sana, jalan raya krapyak, sedang beradu asap-asap knalpot dari truk-truk gandeng besar dengan kendaraan-kendaraan yang lebih kecil. Selain itu orang-orang di pinggir jalan, di halte, di warung, tak henti-henti nya membakar tembakau. Saya merasa aman. Duduk di seberang saya seorang ibu dengan anak nya yang berusia 8 tahun. Sedangkan di belakang saya seorang bapak sepuh. Kami mungkin adalah penduduk yang merindukan kebersihan lingkungan, mencari alternative aman dalam bepergian. Tapi keadaan itu hanya berlangsung beberapa menit saja, sampai di tujuan kami harus keluar tabung tersebut untuk kembali 'terjun' ke alam yang tidak bersahabat. Ibu bumi yang sakit.
Semalam abang mengajak saya jalan kaki. Awalnya saya bilang 'aduh, kenapa ga naik motor saja? nanti capek!'. Tapi seperti biasa abang yang tidak bisa di bantah, dia tetap menjemput saya dengan jalan kaki. Lalu kami bergandeng tangan, bercerita dan bergurau tentang masa lalu. Kondisi yang jarang bisa terjadi kalau berboncengan dengan naik motor. Menghemat bensin, dan untuk sebentar absen mengotori udara. Banyak orang selalu merasa kasihan kalau melihat orang berjalan kaki, tapi sesungguhnya tau kah mereka bahwa dengan berjalan kaki sebenarnya kita mendapat dan memberi banyak hal dari dan kepada Ibu Bumi.
Dibanding dengan berjalan kaki,mengangkot memang bukan pilihan yang baik, tapi dengan mengangkot kita hanya menggunakan bahan bakar yang lebih sedikit di banding bila kita naik kendaraan pribadi bersamaan. Dengan mengangkot kita punya banyak waktu pula untuk memperhatikan keadaan sekitar, khususnya makhluk sosial yang se-angkot dengan kita, dan umumnya adalah keadaan di luar angkot yang jarang bisa kita amati kalau naik kendaraan pribadi.
Kalau saja semua orang di angkot/di bus memikirkan keadaan di luar kaca jendela kendaraan sehingga sama-sama merindukan sebuah lingkungan bersih yang nyaman untuk dihidupi maka tidak mustahil kalau bisa bergerak menciptakan sebuah dunia baru. Misalnya, back to nature, menggunakan andong atau gerobak yang ramah lingkungan untuk bepergian. Sounds funny. It's a ridiculous idea, right? Haha, but who knows? Kalau menjadi modern tidak membuat kelangsungan kehidupan kita baik, apa yang salah dengan cara tradidional, kalau itu alternative yang 'menyelamatkan'.

"kadang mengangkot membuat kita berpikir"
Banyak orang mengangkot, kenapa sedikit sekali yang berpikir?

Rabu, 20 Agustus 2008

Aduh

Aduh saya ini.
Beberapa hari terakhir ini saya berulang-ulang memikirkan tentang menjadi karnivora lagi. Melihat kardus jatah makan siang ketika di purbalingga kemarin yang berisi ayam bakar dengan kulit kehitaman yang menggiurkan, ingin sekali saya coba untuk mencuilnya sedikit, tapi jauh dalam hati kecil saya ada keinginan kuat untuk menolaknya. Tidak. Saya menangis dalam hati. Lalu terpaksa saya taruh ayam itu ke kardus abang. Saya cuma makan sayur sop dan cap cay rebus.
Ada beberapa hal yang mencetuskan ide untuk mengkhianati binatang hidup. Semisal, susahnya akses ke menu saya yang terkadang bisa di anggap 'nyleneh dan menyusahkan' untuk orang-orang di sekitar saya. Saya memang tidak ingin makan apapun yang hidup, tapi saya juga tidak ingin menyusahkan orang-orang di sekitar saya. Aduh, saya bingung.
Dan seperti biasa, saya selalu mencari² 'petunjuk' dengan mengunjungi blog Dee. Begitu banyak artikel mengenai vegetarian. I am on my way to the right thing, right? So why should I doubt about it?
Konsistensi membutuhkan militansi tanpa batas. And I am trying.



Sabtu, 09 Agustus 2008

Menjelang

Negeri ini kok lama-lama sibuk menyakiti dirinya sendiri ya.

Prihatin sekali melihat berita soal Ibu yang membunuh bayi nya karena alasan ekonomi. Kasus seperti ini bukan sekali dua kali terjadi, bahkan pembunuhan berantai yang lagi heboh itu, selain karena masalah personal, disinyalir juga karena alasan ekonomi. Ada juga pasien anak-anak yang akhirnya harus meninggal karena orang tua tidak bisa menyelesaikan keuangan administrasi rumah sakit, berapa duit coba? 20 ribu rupiah!

Baru menghela nafas dan bingung mau mikir apa soal permasalahan 'akar rumput' seperti itu, "kita beralih ke masalah lain. Saudara, tersangka dugaan pemberian uang suap kepada jaksa Urip Tri Gunawan, Arthalita Suryani bla bla bla". Huufff, 660 ribu dolar AS!

Ketimpangan-ketimpangan diatas bukan bumbu gurih kehidupan bernegara dan berbangsa, yang diperlukan adalah solusi. Solusi nya apa? Pemimpinnya bisa membawa perubahan. Oh iya, asyik mau Pemilu tahun depan. "Beralih ke persiapan pemilihan umum 2009. Saudara, partai XYZ launching no urut partai dengan syukuran bla bla bla". "Sementara itu, partai ABC masih belum menyelesaikan konflik internalnya. Bla bla bla". Oh, lagi sibuk? Nggak ganggu deh.

65 juta tahun yang lalu, T-rex si kanibal perkasa diperkirakan musnah dan punah karena kejatuhan Asteroid besar. Ah, ga usah nunggu benda dari luar angkasa, lumpur sidoarjo yang keluar dari dalam perut bumi aja mungkin akan menenggelamkan kita semua. Kalau bencana kayak gitu, nggak yang urusan Rp 20 ribu,$ 660 ribu, atau yang sibuk membangun DPP-DPW, semua akan musnah&punah.

Padahal mau agustusan. Masokis kok massal.